TRADISI
BARI’AN DI MASYARAKAT DESA GULANG DALAM KAJIAN SOSIOLOGI AGAMA
Makalah
oleh:
Indah Ratnasari : 412027
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI STAIN KUDUS
JURUSAN
DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
TAHUN
2015
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap
bangsa dan suku bangsa tentunya memiliki agama sebagai kepercayaan yang
mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan hidup. Di samping
agama, kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan menjadi
identitas dari bangsa dan suku bangsa. Suku tersebut memelihara dan
melestarikan budaya yang ada.[1]
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia menurut
Alisyahbana; merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari
unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan
menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan
kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan
kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap
keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki
balasan materi, yang diharuskan hukum. Kaidah ini sesuai dengan naluri manusia
yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan
perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan
pendahulu mereka.[2]
Dengan adanya bebagai ritual dan tradisi
budaya yang dilaksanakan
secara islami di jawa, telah memperkokoh eksistensi ajaran islam di tengah,
masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara, karena berbagai tradisi islam di jawa
yang terkait dengan kehidupan tersebut kemudian berkembang hampir keseluruh
pelosok tanah air, bahkan Asia Tenggara di mana komunitas orang-orang muslim
jawa juga berkembang. Sebaliknya, ajaran islam justru menjadi kuat ketika ia
telah menjadi tradisi dan budaya di tengah kehidupan masyarakat setempat.
Dalam
hal ini islam bukan sekedar tidak memiliki isi dalam sanubari budaya masyarakat. Islam hadir sebagai
mercursuar rahmat semesta dan masyarakat setiap detik kehidupan mereka yang
diantaranya diwujudkan dalam apresiasi islam atas berbagai ritual dalam siklus
kehidupan masyarakat. Oleh karenanya tradisi dan budaya dalam silam jawa
menjadi penentu dalam kelangsungan syari’at islam. Ketika tradisi dan budaya
terakomodasi dalam suatu agama akhirnya ajaran agama muncul sebagai hal yang mendarah
daging dalam suatu komunitas masyarakat masyarakat. Inilah antara lain yang
terjadi antara islam dan jawa, dan kemudian membentuk gugus budaya islam jawa.
Sejalan dengan pengertian di atas, upacara di sini
merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap
terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi
sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya. Ritual
keagamaan yang dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun
temurun dan berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi
akulturasi dengan budaya lokal.[3]
Adapun
seperti di kalangan masyarakat jawa khususnya di daerah Mejobo desa Gulang
terdapat berbagai ritual yang sangat sakral. Salah satunya adalah Bari’an
merupakan acara yang dilakukan tidak tentu, yang mana
tradisi bari’an sudah dilakukan oleh nenek moyang. Biasanya tradisi
bari’an dilaksanakan dengan membawa masakan atau jajan yang berbeda-beda.
Kadang membawa nasi putih yang dikepal, kadang membawa kuluban dengan tujuh
rupa sayuran, kadang tempe bakar, dll. Adapun makanan yang dibawa sesuai dengan
yang di mimpikan juru kunci. Dan di umumkan ke masyarakat melalui
musholla-musholla.
Tradisi
Bari’an dilaksanakan di sebuah punden sesepuh atau nenek moyang desa. Tradisi
tersebut tidak lepas dengan agama, yang mana saat tradisi tersebut dilakukan, unsur agama dilaksanakan. Dengan membaca do’a-do’a untuk
keselamatn desa, masyarakat dll. Tradisi Bari’an sendiri dipimpin seorang ulama
desa atau modin. Setiap modin membacakan do’a, masyarakat di suruh mengamini
atau bilang “nggeh”. Masyarakat pun anusias dengan tradisi Bari’an. Dengan
kedatangan masyarakat yang banyak, yang kebanyakan kaum ibu-ibu dan anak-anak
yang datang. Dengan demikian agama dan tradisi sanagt berkesinambungan dan
mempererat tali silaturahmi masyarakat desa.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah “Tradisi
Bari’an di Masyarakat Desa Gulang dalam Kajian Sosiologi Agama” adalah:
1.
Bagaimana
gambaran mengenai Tradisi Bari’an ?
2.
Bagaimana
pendapat masyarakat mengenai Tradisi Bari’an ?
3.
Bagaimana
Tradisi Bari’an dalam kajian sossiologi agama ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Gambaran
Tradisi Bari’an
Tradisi
bari’an adalah upacara yang sering dilakukan masyarakat untuk mendapatkan
berkah. Acara ini dilakukan tidak tentu waktunya, karena tradisi bari’an
dilakukan saat dari juru kunci mendapatkan mimpi untuk melakukan tradisi
bari’an. Tradisi bari’an dilakukan dengan membawa nasi, tempe bakaran, sayur
kuluban, dan membawa uang sepuluh ribu rupiah untuk diganti dengan daging
kambing yang telah dimasak oleh para juru masak.
Adapun
rangkaian tradisi bari’an adalah masyarakat datang ke tempat punden desa. Warga
yang baru datang terus menyerahkan uang sebesar sepuluh ribu ke panitia ataupun
juru kunci, dan ditukar dengan daging kambing matang. Setlah mereka duduk,
mereka memberi sedekah seikhlasnya. Setelah itu warga memanjatkan doa yang di
pimpin seorang modin atau kyai. Dan makanan yang dibawa tadi di buka saat kyai
berdoa. Selesai berdoa warga pulang.
B.
Pendapat
Masyarakat Mengenai Tradisi Bari’an
Ibu
Sri yang bertempat tinggal di sekitar punden, yang berumur 25 tahun. Makna
tradisi bari’an bagi Ibu Sri adalah sebagai ngalap
berkah atau mengharap berkah.
Pak
sulikan yang bertempat agak jauh dari punden, yang berumur 41 tahun. Makna dari
tradisi bari’an adalah sebagai pelestarian budaya. Tanpa ada makna ynag lain.
C.
Tradisi
Bari’an dalam Kajian Sosiologi Agama
Agama ialah suatu jenis sistem yang dibuat oleh
pengnut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka
dan masyarakat luas umumnya.[4] Unsur-unsur
agama adalah sebagai berikut.
·
Agama disebut
jenis sistem sosial. Suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan,
suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah
dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan
tertentu.
·
Agama berporos
pada kekuatan-kekuatan non-empiris. Agama itu berurusan dengan
kekuatan-kekuatan dunia luar yang di huni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih
tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan
roh tertinggi.
·
Manusia
mendayagunakan kekuatan-kekuatan di ats untu kepentingan dirinya sendiri dan
masyarakat sekitar.
1.
Analisis
kasus dalam teori emile Durkheim
Terkait
agama, Emile Durkheim mengenalkan dua konsep yakni sakral dan profane. Sacral
merupakan keyakinan yang sifatnya tidak tampak dalam diri seseorang. Sedangkan
profane adalah realisasi dari nilai sakral yang tampak. Makna sakral yang di
ambil adalah masyarkat meyakini tradisi bari’an sebagai keberkahan. Sedangkan
makna profane terdapat pada pembacaan doa saat berlangsungnya tradisi bari’an.
Emile
Durkheim telah mengklasifikasikan pola masyarakat moden kepada dua bentuk yaitu
perpaduan mekanikal dan perpaduan organik. Perpaduan mekanikal ialah ciri-ciri
kehidupan masyarakat tradisional yang dikatakan memiliki tahap kehidupan ynag
paling minimum, ialah anggota masyarakat berkongsi system nilai, system
kepercayaan yang homogeny, dan menjalankan aktifitas ekonomi yang stereotaip
sifatnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perpaduan organic bermaksud
setiap unit masih saling bergantung di antara satu sama lain.[5]
Sedangkan dari kasus dapat di analisis ke perpaduan mekanikal adalah tradisi
barii’an dilakukan turun temurun, dari yang tua sampai yang masih muda,
laki-laki maupun perempuan yang datang ditradisi bari’an. Perpadaun organik
terdapat pada masyarakat ynag membeli daging kambing seharga sepuluh ribu per
daging.
2.
Analisis
kasus dalam teori Max Weber
Max
weber menggambarkan agama menjadi dua kesatuan, yakni antara etis dan rasional.
Bagaimana nilai etis yang kemudian dirasionalkna. Masyarakat ynag datang ke
punden memanjatkan doa agar diberi keberkahan oleh Allah lewat wasilah Nyi
Sampet menunjukan aspek etis. Aspek etis ini kemudian dirasionalkan dengan
adanya pemberian sedekah seikhlasnya.
3.
Analisis
kasus dalam teori Interaksionisme Simbolik George Ritzer
Teori
Interaksionisme Simbolik, setiap orang diyakini punya pikiran dan perasaan
untuk memaknai situasi yang ditemui. Sikap dan tindakan orang tidaklah dipaksa
oleh struktur luar (masyarakat) melainkan individu tersebut sendiri yang menentukan.
Berbagai lapisan masyarakat hadir dari anak-anak ataupun orang tua. Orang-orang menyimbolkan
makanan ynag telah di doa kan di acara tradisi bari’an menganduk berkah.
4.
Analisis
kasus dalam teori Clifford Geertz
Clifford
Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 kelompok, yaitu priyayi, santri dan
abangan. Priyayi adalah golongan birokrat dan kalangan atas yang tingkat
ekonominya tinggi. Namun pengetahuan agamanya biasa. Santri yaitu kelompok
masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan agama yang tinggi namun secara
ekonomi kehidupan mereka biasa saja. Sedangakan abangan yaitu kelompok
masyarakat yang pengetahuan agama dan kehidupan ekonominya rendah atau
biasa-biasa saja. Analisis fenomena tradisi bai’an dalam teori Clifford Geetz
yaitu:
a. Priyayi
yaitu kelompok masyarakat yang terdiri dari kaum birokrat, tetapi pemahaman
agamanya kurang. Seperti halnya kepala desa dan para aparat desa yang ikut
dalam tradisi bari’an.
b. Santri
yaitu kelompok masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan agama yang tinggi
namun secara ekonomi kehidupan mereka biasa. Seperti kyai yang memimpin doa.
c. Abangan
yaitu kelompok masyarakat yang pengetahuan agama dan kehidupan ekonominya
rendah atau biasa-biasa. Seperti mendatangi punden.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Gambaran
Tradisi Bari’an
Tradisi
bari’an adalah masyarakat datang ke tempat punden desa. Warga yang baru datang
terus menyerahkan uang sebesar sepuluh ribu ke panitia ataupun juru kunci, dan
ditukar dengan daging kambing matang. Setlah mereka duduk, mereka memberi
sedekah seikhlasnya. Setelah itu warga memanjatkan doa yang di pimpin seorang
modin atau kyai. Dan makanan yang dibawa tadi di buka saat kyai berdoa. Selesai
berdoa warga pulang.
2. Pendapat
Masyarakat Mengenai Tradisi Bari’an
Masyarakat
ada yang mempercayai tardsi bari’an mengandung berkah dengan memakan nasi doa
da ada juga masyrakat yang hanya menganggap sebagai tradisi jawa.
3. Tradisi
Bari’an dalam Kajian Sosiologi Agama
Agama ialah suatu jenis sistem yang dibuat oleh
pengnut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka
dan masyarakat luas umumnya.
a. Analisis
kasus dalam teori emile Durkheim
Emile
Durkheim mengenalkan dua konsep yakni sakral dan profane. Makna sakral yang di
ambil adalah masyarkat meyakini tradisi bari’an sebagai keberkahan. Sedangkan
makna profane terdapat pada pembacaan doa saat berlangsungnya tradisi bari’an.
b. Analisis
kasus dalam teori Max Weber
Max
Weber, menyatakan bahwa agama dibagi menjadi 2 yaitu etis dan rasional.
c. Analisis
kasus dalam teori Interaksionisme Simbolik George Ritzer
Setiap
orang mempunyai keyakinan. Seperti halnya masyarkat meyakini kalau tradisi
bari’an memberi keberkahan, dengan memakan nasi doa.
d. Analisis
kasus dalam teori Clifford Geertz
Clifford
Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 kelompok, yaitu priyayi, santri dan
abangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Shukri Md. Nain dan Rosman Md. Yusoff. Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan.
(Malaysia: UTM). Ahmad Shukri Md. Nain dan Rosman Md. Yusoff. Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan.
(Malaysia: UTM)
Bustanidun
Agus, Islam dan Pembangunan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Irwan
Abdullah, dkk, (ed.), Agama dan Kearifat Lokal dalam Tantangan Global,
Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2008
Samir
Aliyah, Sistem Pemerintah, Peradilan & Adat dalam Islam, Penerjemah: H. Asmuni, Jakarta:
Khalifa, 2004
Hendropuspito, Sosiologi Agama,
Yogyakarta: KANISIUS, 1993
[1]Bustanidun
Agus, Islam dan Pembangunan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002,
hlm. 15.
[2]
Samir Aliyah, Sistem
Pemerintah, Peradilan & Adat dalam Islam, Penerjemah: H. Asmuni, Jakarta: Khalifa, 2004, hlm.512.
[3] Irwan
Abdullah, dkk, (ed.), Agama dan Kearifat Lokal dalam Tantangan Global,
Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2008, hlm. 187.
[4]
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: KANISIUS, 1993, hlm. 34.
[5]
Ahmad Shukri Md. Nain dan Rosman Md. Yusoff. Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan. (Malaysia: UTM). Hlm.
61.